Minggu, 02 Desember 2018

PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN


PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN


Besarnya kerugian akibat kekeringan di beberapa daerah sangat memprihatinkan, karena nilainya cukup besar. Berdasarkan beberapa kejadian kekeringan diperoleh informasi bahwa kekeringan dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan, kabu asap, terbatasnya penyediaan air bersih, berkurangnya air untuk prtanian, perikanan, peternakan dan terganggunya transportasi air.
A. Pendahuluan
    Indonesia merupakan negara beriklim tropika humida (humid tropic) yang pada musim hujan mempunyai curah hujan tinggi. Akibatnya di beberapa tempat terjadi banjir yang banyak menimbulkan kerugian baik nyawa maupun harta benda. Kerugian ini akan semakin besar kalau terjadi di kota-kota besar yang padat penduduknya. Untuk mengurangi kerugian tersebut telah banyak usaha penanggulangan banjir yang dilakukan seperti pembuatan tanggul banjir, tampungan banjir sementara, pompanisasai air banjir, sudetan sungai, dll.
    Usaha pengendalian banjir tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan, karena  kejadian banjir terus meningkat dari waktu ke waktu.  Fenomena ini sudah kita sadari, karena proses kejadian banjir memang sangat komplek, baik itu proses di lahan maupun di jaringan sungainya.  Oleh karena itu penanggulangan banjir tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan DAS,  dan sumberdaya air secara keseluruhan.
    Di sisi lain banjir merupakan salah satu sumberdaya alam yang cukup besar potensinya. Apabila air banjir pada musim hujan dapat ditampung dan disimpan, sehingga dapat menurunkan debit banjir, maka pada saat kekeringan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia dan keperluan lain seperti irigasi, pembangkit tenaga listrik, perikanan dan pariwisata. Dengan demikian, usaha pengendalian banjir yang dilakukan sekaligus dapat mengurangi kerugian akibat kekeringan.
    Uraian di atas menunjukkan bahwa peristiwa banjir dan kekeringan sangat merugikan kehidupan manusia. Penanggulangan kedua bencana tersebut terus diupayakan dengan berbagai cara, namun nampaknya masih dilakukan secara terpisah. Pengendalian banjir dan pananganan kekeringan secara terpadu nampaknya akan memberikan hasil lebih baik.
    B.   Pembahasan
    1.  Banjir
      Banjir adalah peristiwa keberadaan air mengalir melampaui kapasitas perangkat pengaliran yang disediakan/tersedia dan mengalir di luar kemampuan perangkat itu. Dalam konteks ini air menimbulkan gangguan akibat pengalirannya atau genangannya pada tempat-tempat yang tidak disediakan untuknya. Di Indonesia ada beberapa factor penting penyebab terjadinya banjir :
      a. Faktor Hujan
        Intensitas hujan sangat berpengaruh pada besarnya debit puncak banjir. Semakin tinggi intensitas hujan maka semakin tinggi pula debit banjirnya. Hal ini dapat difahami,  terutama jika telah banyak melakukan analisis banjir dengan model-model yang tersedia. Perlu mendapat perhatian pada penggunaan rumus Rasional, yaitu pada kondisi durasi hujan yang lebih pendek dari waktu konsentrasinya. Pada kondisi tersebut nilai debit puncak ditentukan oleh sebagian luas DAS, karena hujan diseluruh DAS belum teratus.
        Kejadian hujan dalam beberapa hari berturut-turut, justru dapat menimbulkan banjir, walaupun intensitas hujannya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang telah dibasahi hujan sebelumnya menurunkan kemampuan menginfiltrasi air. Pada kondisi tanah dengan kelengasan tinggi atau jenuh air, infiltrasi memang masih berjalan, namun nilainya cukup kecil, sehingga hampir seluruh hujan menjadi aliran dan dapat menimbulkan banjir.
        Hujan deras yang terjadi pada suatu hari dimana hari-hari sebelumnya tidak hujan sering tidak menimbulkan bnajir. Pengaruh kelengasan tanah awal pada debit banjir sudah difahami, namun belum dirumuskan dengan baik. Oleh karena itu menarik untuk dikaji pengaruh kelengasan tanah awal pada kejadian banjir.
        b. Faktor DAS
          Daerah Aliran Sungai adalah daerah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yng terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Semakin banyak lahan terbuka, atau terbangun semakin kecil kemampuan retensinya.
          Kejadian banjir di Sorong tanggal 18 Juli 2003 (www.kompas.com.) adalah akibat penggundulan hutan di sekitarnya. Kerugian banjir diperkirakan sebesar 2,8 milyar rupiah. Bandung selatan mengalami banjir pada 27 Mei 2004 (w.w.antara.co.id.), sehingga jalur jalan Majalaya – Bandung terputus. Genangan air mencapai 50 cm – 80 cm. Banjir ini diestimasikan akibat pemotongan bukit-bukit di sekitar Bandung selatan untuk permukiman dan kawasan industri.
          Berubahnya kawasan retensi banjir untuk Jakarta menjadi permukiman, daerah terbuka (jika ada tanaman, hanya perdu), industri dll., mengakibatkan banjir yang terjadi meningkat. Pada th 2003, kejadian banjir diperparah dengan adanya peningkatan elevasi muka air laut. Hal tersebut diperparah dengan pola penyebaran permukiman yang menyebar, sehingga daya rusak terhadap ekologis dan lingkungannya lebih tinggi.
          c. Faktor Alur Sungai
            Upaya pengendalian banjir yang selama ini dilakukan berupa kegiatan fisik/struktur yang berada di sungai (in stream) dengan tujuan untuk melindungi dataran banjir yang telah berkembang. Pengendalian banjir tersebut dengan membangun prasarana dan sarana seperti pembuatan tanggul, normalisasi alur sungai, sudetan, saluran drinasi, tampungan air (waduk), polder, dll.
            Pada umumnya, prasarana dan sarana pengendali banjir direncanakan untuk 10 sampai 100 th, sedang sistem drainasi 2 sampai 10 tahun. Data yang digunakan dapat berupa data hujan maupun aliran yang terekam pada kondisi DAS saat itu. Apabila kondisi DAS di Indonesia dapat digolongkan stabil, prediksi debit dengan kala ulang tersebut tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun kenyataannya, Daerah Aliran Sungai yang ada memiliki tataguna lahan yang tidak stabil, bahkan cenderung mengalami kerusakan. Tingkat kerusakan DAS bervariasi mulai dari kecil, sedang sampai besar/kritis yaitu pada tingkat yang sudah mengkhawatirkan.
            Oleh karena itu, prediksi nilai debit dengan kala ulang tertentu yang diperoleh pada saat perencanaan sudah tidak relevan lagi pada saat ini. Hal ini terjadi jika Daerah Aliran Sungainya mempunyai luas area terbuka yang meningkat. Peningkatan debit banjir mengakibatkan prasarana dan sarana yang ada tidak mampu menampung aliran yang terjadi.
            Aspek pendangkalan yang terjadi di alur sungai juga merupakan salah satu sebab terjadinya banjir. Adanya pendangkalan alur sungai, tampang sungai menjadi berkurang sehingga daya tampung alirannya menurun pula. Proses pendangkalan ini dapat terjadi akibat erosi tebing dan dasar sungai maupun akibat erosi lahan di Daerah Aliran Sungai.
            Persoalan banjir menjadi semakin rumit jika di alur sungai terdapat rintangan-rintangan arus baik oleh alam maupun buatan manusia seperti :
            Penampang pengaliran sempit karena formasi geologi yang keras
            Adanya ambang alam yang keras
            Belokan tajam pada sungai akan menimbulkan arus menyilang yang berbahaya
            Bangunan silang sengan sungai dengan rongga terlalu sempit
            Pertemuan antara dua sungai atau lebih dengan arus saling merintangi
            Faktor-faktor di atas perlu mendapatkan perhatian cukup serius dalam penanganan masalah banjir, sehingga dapat memberikan hasil yang baik.
            2. Kekeringan
              Kekeringan merupakan salah satu bentuk kondisi ekstrim dan kejadian alam yang kejadiannya tidak dapat dihindari serta karakteristiknya masih menyimpan ruang yang luas untuk dipelajari dan dikaji lebih mendalam. Kekeringan seringkali ditanggapi dengan pemahaman yang berbeda-beda.
              Batasan atau kriteria kekeringan sampai sekarang belum disepakati secara luas. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan merupakan kejadian yang spesifik pada suatu wilayah. Namun demikian, ada beberapa tipe kekeringan yang akan ditunjukkan untuk dapat digunakan sebagai acuan.
              a. Kekeringan Meteorologis
                Tipe kekeringan ini paling mudah untuk diidentifikasi dan difahami. Suatu wilayah dapat dikatakan mengalami kekeringan meteorologis apabila hujan tahunan rerata yang terjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasinya atau dapat juga dibandingkan dengan temperaturnya. Tidak ada batasan mengenai berapa lama hari/bulan tanpa hujan atau berapa banyak kekurangan air.
                Kekeringan meteorologis didasarkan pada kriteria kuantitatif berupa indeks kekeringan. Selanjutnya indeks kekeringan dapat digunakan sebagai indikator dalam menetapkan klasifikasi tingkat kekeringan suatu wilayah.
                Indeks Kekeringan Menurut De Martonne
                dengan :
                P = curah hujan tahunan rerata (mm),
                T = temperatur tahunan rerata,
                a = indeks kekeringan.
                Menurut De Martonne, suatu wilayah yang memiliki nilai a < 15 dikategorikan sebagai wilayah kering. Metode ini dianggap masih mengandung kelemahan karena mengabaikan pengaruh variasi musiman dan amplitudo harian dari temperatur di wilayah kering.
                Indeks Kekeringan Menurut Thornthwaite (1948)
                Metode ini mengukur kekeringan suatu wilayah berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial (Eto), didefinisikan sebagai jumlah penguapan dari suatu wilayah yang tertutup tumbuhan dengan kecukupan air untuk terjadinya penguapan maksimum menurut kondisi klimatologi. Evapotranspirasi potensial ini dihitung berdasarkan rumus Thornthwaite  sebagai fungsi emperatur rerata bulanan. Apabila jumlah hujan tahunan rerata lebih kecil dari Etotahunan, maka wilayah tersebut merupakan daerah semi kering.
                Indeks kekeringan menurut UNESCO (1979)
                Menurut UNESCO tingkat kekeringan diukur berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial Eto yang dihitung menurut rumus Penman. Nilai ini dibandingkan dengan tinggi curah hujan tahunan rerata (P).
                < 0,03
                Wilayah Super Kering
                0,03 <   <    0,20                          wilayah kering
                0,20 <   <    0,50                          wilayah semi kering
                b. Kekeringan Hidrologi
                  Kekeringan tipe ini merefleksikan kondisi sistem air dalam suatu wilayah baik untuk air permukaan maupun air bawah permukaan. Kekeringan hidrologis dapat dilihat dari debit aliran rendah (lowflow), tampungan air di danau/waduk, tampungan dalam tanah dsb. Kondisi kekerinan hidrologi tidak selalu terjadi secara bersamaan dengan kekeringan meteorologis. Kadangkala ada daerah yang mengalami kekeringan meteorologi tetapi kalau dipandang dari sisi hidrologi sebenarnya tidak mengalami kekeringan. Tetapi pada umumnya, apabila terjadi kekeringan hidrologi maka secara meteorologi juga mengalami kekeringan.
                  c. Kekeringan Pertanian
                    Kekeringan pertanian merefleksikan kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman untuk hidup (evapotranspirasi). Respon tanaman terhadap kondisi lengas tanah sangat bervariasi. Sebagian tanaman mampu bertahan hidup dan tumbuh dalam kondisi lengas tanah yang rendah, tetapi ada juga tanaman yang membutuhkan lengas tanah tinggi untuk bertahan hidup. Beberapa batasan kondisi lengas tanah untuk tanaman yaitu kondisi jenuh, kapasitas lapang, titik layu awal dan titik layu permanen. Kondisi lengas tanah ini berdampak langsung pada produktifitas tanaman.
                    Nampak bahwa kekeringan yang terjadi dapat merupakan interaksi berbagai tipe kekeringan yang menambah kesulitan pengertian tentang kekeringan. Namun secara umum dapat dirangkum bahwa kekeringan adalah peristiwa terjadinya kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhannya di masing-masing wilayah dan untuk tiap-tiap penggunaan.
                    Contoh daerah yang mengalami kekeringan yaitu di Jawa Barat pada Juni 2003. Sawah seluas 24.802 ha mengalami kekurangan air dengan status berat dan ringan, sedang 345 ha puso (www.pikiran_rakyat.com).
                    Kekeringan yang melanda Pulau Jawa terutama disebabkan oleh berkurangnya luas hutan dan meningkatnya penggunaan lahan non hutan. Kesimpulan ini dipeoleh Aris Poniman dari hasil penyusunan neraca sumberdaya hutan dan lahan (www.swara.net). Peningkatan lahan non hutan dapat mengakibatkan kekeringan karena keseimbangan ekosistem dalam suatu DAS terganggu. Aris mengingatkan perlunya masyarakat lebih waspada akan kemungkinan sering terjadinya banjir, tanah longsor dan tentu saja kekeringan.
                    3. Penanganan Banjir dan Kekeringan Secara Terpadu
                      Banjir, sebagaimana diketahui, adalah persoalan kelebihan air, sementara kekeringan adalah persoalan kekurangan air. Fenomena bahwa banjir semakin meningkat dari waktu ke waktu, sementara debit musim kemarau semakin menurun sudah difahami bersama. Salah satu contoh kodisi tersebut ditunjukkan pada kejadian aliran di sungai Cidanau dari tahun 1998 – 2000 sebagai berikut :
                      Gambar 1. Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cidanau

                      Mengingat fenomena di atas, alangkah baiknya jika penanganan kedua persoalan tersebut dapat dilakukan secara terpadu.
                      Penanganan banjir melalui peningkatan retensi banjir dapat dilakukan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan maupun perdesaan, pemeliharaan reservoir-reservoir alamiah dan pembuatan resapan-resapan yang dapat memasukkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Tanah diharapkan dapat menjadi tampungan air sementara dan secara perlahan-lahan air dialirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan retensi ini adalah terjaganya konservasi air di DAS, muka air tanah dapat diharapkan stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk berbagai keperluan terpenuhi.
                      Contoh penanganan banjir dan kekeringan secara terpadu dapat diuraikan sebagai berikut.
                      Daerah Industri Cilegon
                        Sungai Cidanau terletak di Daerah Cilegon, Jawa Barat yang bermuara di Selat Sunda. Sungai ini sering membanjiri daerah Industri Cilegon dan sekitarnya. Disisi lain pada musim kemarau, daerah pantai tersebut kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk mengatasi kesulitan air bersih dan mengurangi besarnya debit banjir, PT Krakatau Tirta Industri membuat waduk Krenceng yang letaknya 27,2 km dari Sungai Cidanau.

                        Gambar 2. Sketsa tata letak waduk Krenceng
                        U
                        WTP
                        Wd.Kreuceng

                        Air baku untuk kebutuhan air bersih diambil dari Sungai Cidanau dengan lokasi intake 700 m dari Selat Sunda di Kecamatan Cinangka. Dari intake air dipompa menuju waduk Krenceng yang merupakan penyimpanan cadangan air baku. Kapasitas waduk tersebut yaitu 2,5 juta m3. Dari waduk air dialirkan ke Water Treatment Plant Krenceng dengan kapasitas pengolahan 2000 lt/dt.
                        Terbangunnya sistem pengadaan air bersih di daerah Cilegon tersebut dapat mengatasi kesulitan air bersih dan sekaligus dapat mengurangi besarnya debit banjir, sehingga genangan yang sering terjadi dapat menurun.
                        Pengendalian Banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dan Penyediaan Air Irigasi
                          Pengendalian banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dilakukan dengan pembuatan   waduk Wonogiri yang terletak ± 2 km sebelah selatan kota Wonogiri. Waduk ini mulai beroperasi pada th 1982. Catchment areanya sebesar 1350 km2 dan kapasitas tampungan 650 juta m3. Waduk ini direncanakan untuk mengurangi debit banjir sebesar 4000 m3/detik menjadi 400 m3/detik (Nippon Koei Co., Ltd, 1978). Daerah banjir yang dapat dibebaskan seluas ± 11.000 ha, dan yang paling utama adalah pembebasan daerah Surakarta yang padat penduduk.
                          Selain untuk pengendalian banjir waduk juga dimanfaatkan untuk irigasi. Daerah Irigasi yang mendapatkan air dari waduk Wonogiri meliputi wilayah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen dan Klaten dengan luas 23.200 ha. Namun dengan berjalannya waktu, areal irigasi di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan atau industri. Oleh karena itu PDAM Surakarta akan memanfaatkan air Bengawan Solo untuk air baku dalam penyediaan air bersih bagi Kodya Surakarta.
                          Daerah Aliran Sungai Goseng
                            Daerah Aliran Sungai Goseng merupakan ordo pertama sungai Samin yang bermuara di Sungai Bengawan Solo. Luas area DAS Goseng = 5.96 km2. Daerah Aliran Sungai ini terletak pada 7°39¢32² – 7°45¢ 08² LS dan 110°59¢02² – 111°2¢15² yang ditunjukkan pada Gambar 3.
                            Permasalahan yang ada di DAS Goseng yaitu dibukanya lahan dengan kemiringan yang terjal sebagai tegal oleh masyarakat setempat. Sehingga nilai koefisien aliran dan erosi lahan meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya nilai debit puncak dan kekeruhan air sungai Samin.
                            Usaha penambahan luas hutan diaplikasikan pada DAS Goseng, dengan harapan dapat memberikan tambahan air ke dalam tanah dan mengurangi erosi lahan. Lahan tegal dengan kemiringan 25 – 65% dicoba untuk di hutankan kembali dengan skenario 5, 10, 15, 20 % luas DAS menjadi hutan atau tanpa reboisasi tetapi seluruh tegal dengan kemiringan tersebut di buat teras. Kejadian hujan yang digunakan dalam analisis yaitu kejadian pada tanggal 14 Januari 1997. Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan debit puncak, yang berarti ada penambahan volume air ke dalam tanah sebagai ditunjukkan pada Gambar.
                            Informasi yang dapat diperoleh dari analisis ini bahwa adanya penghutanan kembali DAS memberikan harapan bahwa besarnya cadangan air tanah untuk berbagai kebutuhan dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. Harapan ini tentunya akan lebih mudah terwujud  jika dapat dilakukan reboisasi secara serempak.
                            Gambar 3. Penurunan debit puncak dengan adanya skenario reboisasi
                            Gambar 5. Prediksi penambahan volume air akibat penghutanan kembali DAS
                            C. Daftar Pustaka
                              Agus Maryono, 2002, Banjir Terus Menerus di Indonesia dan Tinjauan Eko-Hidrolis, Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta
                              Krakatau Tirta Industri, PT., 2001, Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Untuk Industri Cilegon dan Sekitarnya serta Kualitas dan Kuantitas Sungai Cidanau, Cilegon.
                              Rachmad Jayadi, 2000, Prinsip Dasar Pengelolaan Kekeringan, Kursus Singkat Sistem Sumberdaya Air Dalam Otonomi Daerah II, Jur. Teknik Sipik UGM, Yogyakarta
                              Sudjarwadi dan Fuad Bustomi, 2002, Perencanaan Pengembangan dan managemen Sumberdaya Air untuk Mengantisipasi Kekeringan DAS Mahakam, Seminar Pengendalian Kekeringan DPS Mahakam, Kalimantan Timur
                              Siswoko, 2002, Mampukah Sarana dan Prasarana Pengendali Banjir dan Sistem Drainasi Membebaskan Dataran Banjir dari Ancaman Banjir dan Genangan, Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta

                              Tidak ada komentar:

                              Posting Komentar

                              tugas 9 etika profesi

                              KODE ETIK PROFESI INSINYUR Etik atau etika mempunyai pengertian sebagai baku perilaku yang diterima secara bersama sekelompok orang “peer” d...