ETIKA KEILMUAN
1. Persoalan Etika Ilmu Pengetahuan
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi selalu memerlukan pertimbangan-pertimbangan dari dimensi etis dan hal ini tentu sangat berpengaruh pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan. Tanggung jawab etis ini menyangkut kegiatan atau penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sehingga seorang ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus selalu memperhatikan kodrat dan martabat manusia, ekosistem dan bertanggung jawab terhadap kepentingan generasi yang akan datang dan kepentingan umum, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu bertujuan untuk pelayanan eksistensi manusia dan bukan sebaliknya untuk menghancurkan eksistensi manusia itu sendiri.
Tanggung jawab ini juga termasuk berbagai hal yang menjadi sebab dan akibat ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa lalu maupun masa yang akan datang. Jadi bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat atau meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusia itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk menentukan mana yang layak atau tidak layak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Beberapa problem yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dicontohkan oleh Amsal Bakhtiar (2010) pada perkembangan ilmu bioteknologi, perkembangan yang dicapai sangat maju seperti rekayasa genetika yang menghkhawatirkan banyak kalangan. Tidak saja para agamawan dan pemerhati hak-hak asasi manusia tetapi para ahli bioteknologipun juga semakin khawatir karena jika akibatnya tidak bisa dikendalikan maka akan terjadi bencana besar bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh adalah rekayasa genetika yang dahulunya bertujuan untuk mengobati penyakit keturunan seperti diabetes, sekarang rekayasa tidak hanya bertujuan untuk pengobatan tetapi untuk menciptakan manusia-manusia baru yang sama sekali berbeda baik secara fisik maupun sifat-sifatnya. Dengan rekayasa tersebut manusia tidak memiliki hak yang bebas lagi. Meskipun teori ini belum tentu terwujud dalam waktu singkat tetapi telah menimbulkan persoalan dan kekhawatiran di kalangan ahli etika dan para agamawan, apalagi jika jatuh pada penguasa yang lalim pasti dampaknya akan sangat membahayakan karena bisa menghancurkan eksistensi manusia.[10] Maka disinilah diperlukan kedewasaan dari manusia itu sendiri untuk menentukan mana yang baik dan buruk bagi kehidupannya.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreatifitas manusia untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia baik dalam hubungan sebagai pribadi dengan lingkungannya, maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Allah Subhana wata'ala.
2. Penalaran dan Logika
Berbeda dengan pengetahuan manusia selalu berkembang, karna manusia memiliki dua kelebihan. Pertama, manusia mampu mengkomonikasikan pikiran-pikiran atau ide-ide melalui bahasa yang sistematis. Kedua, manusia mampu berpikir menurut alur tertentu. Kemampuan manusia berfikir menurut alur tertentu disebut bernalar.
J.M. Bochenski menjelaskan, ada dua syarat utama penalaran yaitu adanya premis yang sudah diketahui kebenarannya dan mengetahiu cara penarikan kesimpulan.model tersebut, dikenal sebagai Modus Ponendo ponens secara umum berbunyi: jika A maka B, ternyata A maka B, logika model ini merupakan merupakan logika formal. Penalaran model lain yaitu silogisme, silogisme merupakan dasar pemikiran deduktif, yang terdiri atas dua pernyatan dan sebuah kesimpulan.
Kata logika diturunkan dari kata “logike” (bahasa yunani), yang berhubungan dengan kata benda logos, suatu yang menunjukkan kepaada kita adanya hubungan yang erat dengan pikiran dan kata yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Jadi, secara etimologi, logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran melalui bahasa. Berfikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan. Sedangkan pengetahuan adalah suatu system gagasan yang bersesuaian dengan system benda-benda yang dihubungkan dengan keyakinan.
Perbedaan antara penalaran dan logika yaitu penalaran merupakan mampu berpikir menurut alur tertentu sedangkan logika adalah ilmu yang mempelajari fikiran melalui bahasa. Dari pengertian diatas dibedakan secara jelas bahwa logika itu ada karna telah terjadinya penalaran yang dianggap baik atau buruk atas suatu pernyataan, kemudian dengan adanya logika kita bisa menyimpulkan suatu kesimpulan dari premis-premis yang ada.
Contoh suatu pemikiran induksi yaitu fakta memperlihatkan bahwa kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai mata. Penalaran induksi seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin fundamental.
Contoh suatu pemikiran deduksi yaitu memakai pola berpikir yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang sering dipakai dalam menarik kesimpulan secara deduksi.
- Semua mahluk mempunyai mata (Premis mayor)
- Si Patma adalah seorang mahluk (Premis minor)
- Jadi si Patma mempunyai mata (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan secara deduksi harus memenuhi syarat: Premis mayor harus benar, Premis minor harus benar, dan Kesimpulan harus sahih (mempunyai keabsahan). Dengan demikian, kebenaran dan ketepatan menarik kesimpulan tergantung kebenaran kedua premis dan keabsahan penarikan kesimpulan. Penalaran deduksi memberikan hasil yang pasti.
Sebagian besar berpendapat bahwa logika berhubungan dengan pengetahuan tak langsung dengan alasan karna logika berhubungan dengan pembuktian, artinya melalui logika kita ingin membuktikan kebenaran atau ketidak benaran sesuatu. Perbincangan ikhwal kebenaran, dalam logika menjadi dua yaitu kebenaran bentuk dan kebenaran materi. Kebenaran bentuk (self consistency) artinya didalam pikiran itu tidak terdapat pertentangan. Contohnya “lingkaran segiempat” artinya yang demikian itu tidak ada. Adapun kebenaran materi artinya terdapat persesuaian antara pikiran dan benda sebenarnya. Contohnya seperti tabung sama tong minyak tanah akan terlihat nyata.
3. Etika Ilmu Pengetahuan atau Etika Keilmuan
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, antara yang baik dan menghindari yang buruk dari perilaku keilmuannnya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mampu mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya.
Etika normatif menetapkan kaedah-kaedah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaedah moral, iaitu hati nurani kebebasan dan tanggungjawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang baik dan buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Kriteria yang dipakai adalah bahawa nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang. Ia akan bergabung pada nilai yang telah ada, seperti nilai agama, hukum, budaya dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang berkaitan dengan tanggungjawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik atau sebaliknya dari sudut etis, begitu pula hal ini berlaku bagi seorang ilmuwan.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, baik berupa teknologi mahupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, haruslah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini ertinya ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak lagi bebas nilai, kerana sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas yang menilai dan mengujinya.
4. Etika Akademik
Berbicara tentang etika akademik, sama artinya kita membicarakan persoalan perilaku baik-buruk, lurus-bengkok, benar-salah dan adanya penyimpangan ataupun pelanggaran praktek tidak lagi disebabkan oleh faktor yang bersifat diluar kendali manusia (force majeur), tetapi lebih diakibatkan oleh semakin kurangnya pemahan etika-moral yang melandasi perilaku manusia. Pengertian tentang etika seringkali dikaitkan dengan istilah norma, yaitu pedoman tentang bagaimana orang harus hidup dan bertindak secara baik dan benar, sekaligus merupakan tolok ukur mengenai baik-buruknya perilaku tindakan yang diambil. Norma baik dan benar dalam kontek perilaku beretika, akan selalu dihubungkan dengan kebutuhan dan hak orang lain.
Perguruan tinggi sebagai masyarakat akademis dengan ciri khasnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran kebenaran ilmiah, perilaku segenap sivitas akademikanya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan selalu terikat pada etika-moral. Artinya segala tindakan-tindakan mereka dalam proses pembelajaran, harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan dan kenenaran yang dapat diterima oleh orang banyak, bukan saja di lingkungan perguruan tinggi tersebut. Sebagai contoh misalnya perilaku dosen untuk memberikan penilaian lulus 100% mahasiswanya pada ujian akhir semester, mungkin oleh pandangan dosen ataupun pimpinan, perilaku tersebut dinilai sebagi perilaku yang baik dan benar. Tetapi apakah dapat dibenarkan tindakan tersebut, kalau di antara 100% mahasiswa yang dinyatakan lulus tersebut terdapat banyak mahasiswa yang tingkat kehadiran perkuliahannya hanya dua tiga kali dalam satu semester?. Apakah pelulusan mahasiswa yang demikian ini dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar mahasiswa yang rajin kuliah sepanjang semester?. Masih banyak contoh lain yang dapat kita lihat pada kesehariannya tentang hal ini.
Untuk dapat menjadikan etika akademik sebagai sebagai landasan penjaminan mutu, diperlukan adanya seperangkat aturan yang wajib dipedomani oleh segenap sivitas akademika dalam interaksinya pada proses pembelajaran. Selain dari itu juga diperlukan adanya kode etik, baik bagi dosen, mahasiswa dan pegawai. Peraturan dan kode etik tersebut merupakan rambu-rambu bagi segenap sivitas akademika untuk menyamakan persepsi dan visi dalam menyelenggarakan keseluruhan proses pendidikan. Dengan adanya persamaan persepsi dan visi tersebut, akan membentuk satu pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Selanjutnya melalui kesatuan pola tersebut akan dapat mengarahkan perilaku-perilaku segenap sivitas akademika menuju pada suasana akadamik yang kondusif. Melalui suasana akademik yang kondusif itulah semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran, secara bertahap akan dapat meningkatkan mutu hasil pendidikan tersebut.
Sikap Akademik
Sikap adalah perbuatan, perilaku, gerak-gerik yang berdasarkan pada pendirian (pendapat atau keyakinan). Seseorang yang memiliki sikap akan selalu melakukan perbuatan yang dilandasi oleh pendirian yang jelas, pendapat dan keyakinan yang jelas pula. Jadi perbuatan seseorang yang memiliki sikap selalu menunjukkan pendiriannya. Tidaklah seseorang dikatakan memiliki sikap jika ia tak berpendirian, tidak memiliki pendapat atau keyakinan.
Akademik berarti mengandung kearifan dan dilandasi dengan ilmu. Tidak saja ilmu tetapi juga kearifan atau kecendekiaan, yaitu pemahaman dan penerapan ilmu dalam konteks humaniora, menjadi sifat dasar dari sesuatu yang akademik. Masyarakat akademik misalnya, didalamnya terdiri atas individu-individu yang memiliki dan menerapkan ilmu dan kearifan dalam segala aktivitasnya, baik aktivitas berpikir, berbicara, maupun aktivitas-aktivitas motoriknya.
Mendasarkan pada dua pengertian tersebut di atas, maka sikap akademik adalah perbuatan, perilaku, gerak-gerik yang berdasarkan pada pendirian yang mengandung kearifan dan dilandasi dengan ilmu. Perilaku yang demikian ini adalah ciri yang membedakan anggota masyarakat kampus, orang yang berpendidikan perguruan tinggi dari anggota masyarakat yang tidak mengecam pendidikan tinggi. Kampus sebagai masyarakat yang berlandaskan ilmu pengetahuan (knowledge based society) menuntut perilaku anggota masyarakatnya dijiwai dan didasarkan kepada ilmu pengetahuan yang diikuti dengan kearifan. Itulah alasan mengapa sikap akademik menjadi penting untuk diketahui dan dibahas serta dikembangkan dalam dunia kampus.
Dalam suatu masyarakat yang segala sesuatunya harus akademik, yakni di Perguruan Tinggi, dikenal pula adanya hak dan kewajiban, kebebasan dan tata aturan yang akademi pula. Didalam kampus kita mengenal adanya kebebasan akademik. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Bab VI Pasal 17 ayat 1 disebutkan bahwa :
Kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki anggota sivitas akademika untuk secara bertanggung jawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Warga sivitas akademika yaitu dosen dan mahasiswa dituntut mengerti dan melaksanakan sikap akademik, mengerti kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Hal-hal inilah yang membedakan dunia kampus dari masyarakat lain.
Seorang anggota sivitas akademika memiliki sikap akademik yang antara lain meliputi:
1) Keingintahuan.- : seorang akademisi senantiasa mempertanyakan berbagai hal yang dihadapinya, mengkaji hal-hal yang telah mapan maupun hal-hal yang tengah dikembangkan, ia bertanya-tanya dan berupaya mencari jawaban yang benar menggunakan prosedur yang tepat. Seorang mahasiswa hendaknya senantiasa menumbuhkan keingin tahuannya (curiosity) terhadap apa yang dihadapinya, terhadap kuliah yang diberikan dosennya, sehingga tumbuh motivasi dan semangat untuk giat belajar dan mengerti ilmu yang dipelajarinya. Keingintahuan yang dilatih dan dikembangkan akan menimbulkan kebiasaan berpikir kritis.
2) Kritis.-: tidak menerima begitu saja terhadap informasi yang diperoleh adalah bagian dari sikap kritis, setiap informasi yang diterima diuji dulu kebenarannya, dikonfirmasi dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggali kebenaran dan validitas informasi tersebut. Pemikiran kritis juga berupaya menggali rahasia dibalik fakta yang dihadapinya secara obyektif. Seorang yang bersifat kritis jauh dari prasangka. Sikap kritis tidak dapat dilakukan tanpa diimbangi dengan sikap terbuka.
3) Terbuka.- : secara sederhana seorang yang bersikap terbuka akan bersedia dikritik dan dapat menerima pendapat dan argumentasi orang lain walaupun berbeda dari pendapatnya, apa lagi jika pendapat itu berasal dari pakar dibidangnya. Seorang akademisi yang bersikap terbuka sangat mengharapkan pendapat dan sanggahan kritis orang lain terutama dari sejawatnya. Itulah sebabnya, para akademisi secara periodik mengadakan pertemuan, deseminasi hasil penelitian, seminar dan sebagainya untuk terutama berbagi gagasan, mencari masukan, tanggapan, saran dan sanggahan agar apa yang dikemukakannya menjadi lebih sempurna dan sahih. Dalam mencernakan gagasan, masukan, saran, tanggapan dan sanggahan seorang akademisi yang bersikap terbuka tidak mencampur adukkan antara penalaran dan emosi. Oleh sebab itu sikap terbuka ini hanya bisa terwujud bila diimbangi dengan cara berpikir dan sikap obyektif.
4) Obyektif.- : artinya bahwa seorang akademisi mampu melihat sesuatu secara nyata, seperti apa adanya, ia tidak merancukan pandangan pribadinya dengan fakta yang dihadapi, ia tidak berprasangka, jadi pemikiran dan pendapatnya tidak dikuasai oleh sangkaan dan perasaan pribadinya. Setiap pendapat yang dikemukakan oleh seorang yang bersikap obyektif tidak semata-mata berdasar pemikiran pribadinya untuk kepentingan tertentu, tetapi didasarkan pada fakta, sehingga dapat diverifikasi. Sikap obyektif ini akan menimbulkan sikap menghargai karya orang lain.
5) Tekun dan konsisten.-: jalan untuk menuju pengetahuan adalah banyak, realitas begitu luas dan kompleks, dan kemungkinan untuk membuat kesalahan sangatlah banyak, oleh sebab itu digunakan berbagai cara yang mengantarkan kepada pengetahuan. Alam yang dapat diketahui misalnya sangatlah luas dan besar, tetapi pengetahuan manusia sangatlah kecil. Hanya dengan upaya terus menerus dan pantang menyerah maka pengetahuan itu akan bertambah walaupun tidak mungkin akan mencapai kesempurnaannya. Namun demikian pengetahuan yang telah terbukti dan diyakini kebenarannya sangtlah layak dipertahankan. Berani mempertahankan kebenaran adalah bagian dari sikap akademik.
6) Berani mempertahankan kebenaran.- : kebenaran dalam dunia akademik adalah kebenaran obyektif, kebenaran yang dapat diverifikasi dengan metode ilmiah, kebenaran yang dapat dan secara terus menerus diuji, kebenaran yang tidak subyektif. Kebenaran yang dipertahankan didukung oleh fakta dan data yaitu kebenaran logika deduktif dan induktif, tetapi dapat juga kebenaran berdasarkan kepada otoritas, yaitu pendapat pakar dibidangnya yang diakui dan kebenaran intuitif dari pakar yang berpengalaman dan memiliki kompetensi dan kredibilitas dibidang kepakarannya. Kebenaran ilmiah kadangkala sulit dipahami oleh kebanyakan orang,apalagi jika hal itu merupakan
7) sesuatu yang berkaitan dengan pandangan ilmuwan yang jauh ke depan, yang berwawasan luas dalam kemanusiaan dan universalitas, dan seorang anggota sivitas akademika dituntut memiliki visi atau berpandangan kedepan.
8) Berpandangan kedepan.- : pandangan seorang akademisi dapat merupakan proyeksi lima tahun mendatang, sepuluh tahun mendatang, seratus tahun atau bahkan ribuan tahun kedepan, tergantung kepada wawasan masing-masing. Pandangannya tersebut yang mendorong dirinya senantiasa bekerja keras dengan tekun untuk berupaya dalam bidang kepakarannya ikut memecahkan masalah kehidupan dan kemanusiaan. Sikap visioner ini akan dapat diwujudkan jika akademisi memiliki independensi sesuai dengan apa yang tercakup dalam kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan, dan sikap independen penting bagi anggota sivitas akademika.
9) Independent.- : anggota sivitas akademika memiliki kebebasan akademik, yaitu: keleluasaan untuk mengajar dan membahas masalah tanpa campur tangan pihak lain misalnya pemerintah, tidak adanya larangan atau hambatan dan campur tangan penguasa untuk menulis dan mempublikasikannya dalam jurnal, buku dan sebagainya, tidak ada tekanan atau ancaman untuk berbicara secara terbuka. Pendirian yang demikian ini mendorong sivitas akademika menjadi manusia yang memiliki sikap kreatif.
10) Kreatif.- : dalam masyarakat akademik, berbagai aktivitas membutuhkan daya cipta dan inovasi. Sikap kreatif ini membuat sivitas akademika berperan aktif dalam pengembangan iptek yang bermanfaat bagi masyarakat. Kreativitas merupakan awal dari semua kegiatan dalam dunia akademik. Namun demikian agar kreativitas terarah pada tujuan yang benar setiap sivitas akademika memerlukan pengertian moral dan kemanusiaan, itulah sebabnya sivitas akademika perlu mengerti etika akademik.
Selain apa yang telah tersirat dalam penjelasan mengenai sikap akademik, secara praktis seseorang yang beretika akademik diantaranya dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Apresiatif.- : wujud keadilan yang paling mudah adalah menunjukkan apresiasi terhadap pemikiran dan karya orang lain dengan alasan yang masuk akal. Menunjukkan perhatian merupakan bagian dari apresiasi, sesederhana apapun sebuah karya pasti mengandung pelajaran yang hanya bisa kita dapatkan jika kita memperhatikannya dengan seksama, dengan demikian wawasan pengetahuan akan senantiasa diperkaya oleh apresiasi yang tulus. Perbuatan apresiatif mudah dilaksanakan jika seseorang beranggapan dirinya tidak tahu segalanya tentang sesuatu sehingga ia bersedia untuk belajar. Orang yang demikian ini merendahkan dirinya dalam pengetahuan (agnostik atau tawadhu’).
2) Agnostik.- : dalam bahasa arab adalah tawadhu’ atau menganggap dirinya rendah dalam pengetahuan dihadapan alam yang kompleks dan misterius ini dan ini merupakan hasil pengalaman ilmiah yang luas. Peribahasa mengatakan padi berisi makin merunduk, maka semakin tinggi keilmuan seseorang semakin dalam ia merendahkan dirinya dalam pengetahuan. Tidak mengherankan kalau banyak pakar yang menjadi lebih bertaqwa dan dengan demikian menjadi sangat jujur untuk mengakui kekurangannya, tidak angkuh ataupun licik. Mereka tidak akan melakukan plagiat ataupun membajak karya orang lain untuk kepentingan dirinya. Otoritas orang lain atas karyanya diakui oleh sivitas akademika.
3) Mengakui otoritas.- : artinya bahwa setiap kali menggunakan hasil karya ilmiah orang lain baik dalam penyampaian lisan ataupun tulisan harus dinyatakan author-nya. Jika kita mengutip tulisan orang lain dicantumkan sumbernya secara jelas dan akurat, acuan dalam penulisan dicantumkan dalam daftar pustaka, kutipan langsung harus dibedakan dengan kutipan tak langsung untuk membedakan mana yang original tulisan kita mana yang tulisan karya orang lain.